KETIKA MEMILIH ANTARA BEKERJA, KULIAH, ATAU MENIKAH



Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu. Jadi selama ini saya sedang sibuk mengurusi kelanjutan hidup setelah lulus S1 di Universitas Hasanuddin. Adalah pilihan yang cukup sulit ketika memutuskan akan mencari kerja atau melanjutkan kuliah. Kamu akan merasakannya bila mencapai titik yang sama dengan saya kemarin. Bisa juga saya tidak mengambil dua pilihan tadi, bila saya menyerah dan akhirnya menikah. Kata orang, perempuan seusia saya bahkan memilih seperti itu.
Lulus di bulan Maret 2017--sehari sebelum saya menginjak 22 tahun—saya mulai berpikir apa yang akan terjadi nanti. Sebelum wisuda saya sudah mencari pekerjaan apa yang bisa saya dapat—mengingat ada banyak pengagguran dengan gelar S1 seperti saya yang sedang melakukan hal yang sama. Semangat menggebu-gebu saya hanya bertahan di tiga bulan pertama setelah wisuda untuk mencari kerja. Kakak saya menawarkan diri untuk mengantar saya mengitari bank-bank yang bisa saya masukkan lamaran di sana—ketika kiranya mereka kehilangan salah satu customer servicenya secara mendadak dan tidak punya pengganti. Sewaktu itu, saya memfokuskan diri mencari pekerjaan yang hanya memerlukan suara saya. Sewaktu itu pula, saya selalu merasa tidak bisa apa-apa, selain berbicara tentu saja.
Tiga bulan nihil, tidak ada panggilan apapun. Saya mulai berpindah mencari pekerjaan di dunia virtual. Beberapa panggilan datang, beberapa saya tolak dan sebagiannya lagi setelah sampai di tahap wawancara, tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Alhasil, singkat cerita saya kurang lebih menganggur selama hampir setahun. Memang menyenangkan karena saya masih dikirimi uang oleh orang tua sementara saya tidak melakukan apapun di Makassar waktu itu. Kerjaan saya cuman lalu lalang ke café-café, mengejar wifi, tes online sana-sini. Ada begitu banyak orang yang membantu saya untuk bangkit ketika lagi-lagi gagal yang saya temui. Merekalah yang menopang dan mendorong saya dan mengatakan saya bisa apa-apa. Merekalah yang tidak pernah absen mengingatkan bahwa jalan kita macam-macam. Mengingatkan saya, bahwa hidup akan terus berlanjut dan saya sudah seharusnya bangun lagi.
Menjelang akhir 2017, saya iseng membuka situs UGM dan membaca bahwa UGM kembali menerima mahasiswa pascasarjana tahap kedua. UGM memang membuka 2 kali dalam setahun. Saya pernah mendaftar di bulan April 2017 kemarin. Sayang, belum rejeki saya. Saya tidak lulus karena memang harus saya akui TOEFL dan TPA saya pas-pasan untuk masuk di jurusan Ilmu Komunikasi jenjang S2. November 2017 saya mencobanya sekali lagi. Dengan memohon restu kedua orang tua saya—utamanya bapak saya yang begitu benci berjarak dengan anak-anaknya—saya akhirnya memberanikan diri  mendaftar kembali. Saya mempersiapkan semua berkas di bulan November. Mulai dari memperbaiki proyeksi keinginan, melihat skor TOEFL terbaru, memperbaiki esai motivasi, dan mencari kembali sertifikat TPA yang saya miliki. Awal Desember, saya berangkat ke Jogja (PS: Penulisannya harusnya Yogyakarta. Tapi begitu nyaman menyebutnya dengan Jogja) dengan menggunakan pesawat pertama di hari senin yang cerah.
Selepas mengurus semuanya, saya kembai ke Makassar dengan harap-harap cemas apakah akan gagal lagi seperti kemarin atau malah berhasil. Sepertinya jawaban dari do’a do’a orang tua menjawab semuanya. Tepat sebulan hari ini saya berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Ini membuktikan bahwa tidak akan pernah tidur Tuhan ketika mendengar do’a hambanya.
Tulisan saya ke depannya akan berceita tentang suka duka mahasiswa pascasarjana, bedanya Makassar dan Yogyakarta, atau tentang materi-materi yang saya dapatka sejauh kuliah saat ini. Jadi bagimu yang mencari tulisan-tulisan seputar perasaan ditulisan-tulisan saya nantinya, sepertinya akan susah. Terima kasih sudah membaca.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman