Kenapa Orang Rindu Kampung Halaman?
Aku menulis ini dan kemudian dibaca olehmu karena
barangkali kamu tertarik dengan judulnya. Mungkin saja kamu hanya iseng
mengklik blog tidak terkenal seperti ini. Apapun alasanmu, aku akan memberitahu
sesuatu. Kamu tidak akan mendapatkan banyak manfaat dari membaca ini. Karena
aku hanya akan membawamu mendengarkan cerita-cerita yang ku sajikan dalam
bentuk yang sangat sederhana. Tentang betapa pendosanya aku di masa kecil
(meski sekarang juga masih) bersama teman-teman tidak sebayaku. Kamu bisa
menikmatinya sembari menyaksikan senja atau matahari terbit di kotamu. Dua hal
yang selalu luput diperhatikan orang-orang yang hidupnya serba cepat. Atau kamu
bisa menutupnya sekarang kalau kamu tidak tertarik dengan pengantarku barusan.
Untukmu
yang masih berlanjut membacanya sampai sekarang, aku akan menceritakannya
secara perlahan. Sebab kadang aku menulis terlalu acak. Aku berusaha tentu
saja. Ini kulakukan semata agar kamu bisa mengerti dan syukur-syukur kalau kamu
bisa paham apa yang kurasakan waktu itu. Sewaktu mengalami kejadian-kejadian
tersebut atau kamu bisa membayangkan dirimu adalah aku di waktu dulu.
Jadi
sebentar lagi aku akan pergi ke kota lain untuk menuntut ilmu. Aku menulis ini
di bulan Ramadan. Waktu bagi para pelajar (entah untuk para pekerja) adalah
waktu yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Halaman berapa? Oh, ini bukan
buku. Bukan kata-kata yang sering disajikan orang-orang menjadi beberapa bait
puisi. Lebih tepatnya ini adalah sebuah tempat yang membuatmu selalu merasa
berada di ‘rumah’.
Kampungku
di Sengkang. Kamu tidak akan menemukannya di peta. Sengkang terletak di
Sulawesi Selatan. Dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan, Sengkang bisa
ditempuh 4-5 jam tergantung kecepatan supir yang membawamu. Kamu bisa ke sini
dengan melewati dua rute, lewat Bulu’ Dua atau Camba. Kalau lewat Camba,
sepanjang perjalanan kamu akan dipaksa untuk tidur. Harus tidur. Sebab jika
tidak, bagi kamu yang suka mual ketika perjalanan jauh, akan muntah. Karena melewati
Camba serupa melewati sirkuit balap yang kemiringannya betul-betul membuat kita
berdzikir dan mengingat Tuhan sesering mungkin.
Camba adalah jalanan
berkelok terjal yang ketika kamu melongo ke bawah, kamu hanya akan melihat
jurang yang dalam. Ketika menengok ke samping, kamu akan menemukan pepohonan
lebat dan batu-batu besar. Ketika menengok ke atas, kalau sedang beruntung dan
kamu melewatinya di pagi hari, kamu bisa bertemu banyak monyet yang
bergelantungan seenaknya. Dengan banyak rintangan yang kamu lalui ketika
melewati Camba, kamu mendapatkan satu keuntungan; yaitu Camba adalah jalur
tercepat menuju Sengkang.
Setelah
membaca sedikit cerita soal Camba, kamu akan berpikir lebih baik melewati Bulu’
Dua saja. Bulu’ Dua adalah rute yang aman dan paling sering dilewati
orang-orang yang mau berkendara santai-santai. Di Bulu Dua cuacanya sangat
dingin ketika musim hujan tiba. Kamu bisa melihat napasmu melayang-layang di
udara setelah kamu hembuskan. Jalan ini hanya lurus lurus saja tanpa kelokan
yang berarti. Hanya saja, ini adalah rute yang jauh. Banyak mobil sewa tidak
akan melewati tempat ini karena lama. Banyak, tapi tidak semua.
Aku
kemudian menjadi bingung kenapa ceritaku sudah menjalar ke mana-mana. Jadi coba
berhentilah membaca. Sekarang tanya dirimu. Kamu pernah merasakan apa saat
pulang ke kampung halamanmu? Kamu punya? Atau kamu adalah orang yang besar di
kota?
Kalau
kamu sudah menjawab itu, lanjutlah membaca.
Jadi
kampung halaman menurutku adalah tempat yang di mana kamu besar, tumbuh, menghambiskan
hari-harimu, berinteraksi, dan merasa bahwa itu adalah ‘rumah’. Hal yang sama
ketika aku menemukan seseorang yang kurasa sangat dekat hingga tidak ada cela
lagi dengannya, seseorang yang kusebut sebagai ‘rumah’. Tempatku pulang.
Aku
menamai Sengkang sebagai ‘rumah’. Karena setiap aku pergi jauh darinya, selalu
ada rindu yang harus kutampung dalam hati. Sengkang di kepalaku menjadi kota
sederhana yang di mana, setiap sudutnya sudah kubuatkan kenangan baik-baik.
Yang kelak ketika aku kecelakaan dan amnesia dan lupa semuanya, orang-orang
terdekatku bisa membawaku ke sana dan aku berharap bisa mengingatnya kembali.
Jadi
di Sengkang aku tinggal di sebuah kompleks perumahan atau yang akrab disebut
oleh orang sini adalah BTN. Aku tinggal di BTN Pepabri. Pepabri adalah
singkatan Pensiunan Para ABRI. Aku lupa pernah mendengarnya di mana. Ya
meskipun memang harus kuakui kalau di tempat ini, banyak orang yang sudah
berusia lanjut menetap.
BTN
Pepabri dulunya hanya memiliki satu masjid. Masjid yang selalu ramai dikunjungi
oleh orang-orang. Tapi saat ini sudah ada 3 masjid yang berdiri. Barangkali ini
bisa jadi alasan kenapa masjid yang dulu sudah kekurangan jama’ah. Aku tak
pandai soal agama. Jilbabku tidak turun menutupi dada. Pakaianku masih
menunjukkan lekuk tubuh. Aku masih menyentuh lelaki ketika bersalaman. Aku
masih sering melepas jilbab ketika berada di rumah orang. Tapi, masa kecil di
sebuah masjid di BTN Pepabri sangat membuatku bahagia. Bahkan hingga usiaku
yang ke 22 ini.
Masjid
pertama itu bernama masjid Jannatul Firdaus. Masjid yang dulunya masih sangat
sederhana. Jam dindingnya kadang tak jalan, belum ada jam untuk menentukan
iqamah. Belum memiliki AC. Belum ada kamar mandi yang cantik. Belum ada kipas angina
tornado. Belum seperti sekarang ini.
Di
masjid itu, aku menghabiskan banyak waktu ketika Ramadan tiba. Aku rajin sholat
subuh karena setelahnya, aku dan beberapa tetanggaku yang tadi kukatakan kami
tidak sebaya, akan pergi berlajan-jalan subuh. Rutinitas yang wajib kulakukan
di bulan Ramadan. Setelah jalan-jalan subuh, kami akan pulang untuk mengaji dan
tidur. Ketika duhur, kami akan bangun kembali dan saling memanggil ke rumah
satu sama lain untuk berangkat ke masjid bersama-sama. Hal yang membahagiakan
sekali ketika sampai di depan rumah tetangga dan berteriak, “Epi, ayokmi.” Dan
ada jawaban dari dalam, “Iya, tungguma.”
Temanku
ada 3 orang. Dulunya. Sekarang ada 4. Samaku kami berjumlah 5. Kami akan pergi
ke masjid untuk sholat duhur. Udara panas tidak mematahkan semangat kami.
Beberapa temanku membawa permainan seperti monopoli dan kartu untuk dimainkan
di masjid sembari menunggu sholat ashar tiba. Oh ya, aku dan teman-temanku
senang menunggu sholat ashar di masjid. Jadi kami bisa bermain (sesekali
mengaji) sepuasnya.
Aku
ingat ketika selesai sholat duhur, kami akan ke belakang masjid. Duduk dan
membiarkan wajah kami ditiup angin sepoi-sepoi. Di belakang masjid ada hamparan
sawah yang sangat luas. Kami tidak tahu itu
milik siapa. Kami hanya menikmatinya. Kalau dibayar, kami tentu saja
tidak punya uang. Untungnya itu gratis.
Selesai
menikmati sepoinya angin, kami lantas masuk untuk bermain. Aku amat mengingat
ketika itu ada seorang marbot masjid bernama Jumadil. Waktu itu juga ada imam
di masjid ini, imam terbaik yang pernah kulihat. Meski bacaannya
panjang-panjang dan pernah membuatku pingsan saat sholat tasbih, aku tetap
menyukainya. Oh ya, soal Jumadil. Jumadil adalah lelaki tinggi dengan wajah
lonjong dan mata sedikit besar. Dia selalu memarahi kami ketika bermain di
masjid. Padahal kami hanya bermain monopoli atau bermain kartu. Jumadil sampai
pernah memberikan kami tikus mati dari atap kamarnya untuk membuat kami pergi.
Kami yang marah, saat itu mulai membenci Jumadil yang jahat.
Di suatu
malam, saat seorang bapak naik ke mimbar untuk berceramah, kami yang dibantu
dengan anak lorong sebelah (mereka juga membenci Jumadil) merencanakan sesuatu
untuk balas dendam pada Jumadil. Kenakalan masa kecil yang lucu. Kami akhirnya
keluar dari masjid dan menuju kamar belakang, tempat Jumadil tinggal. Seorang
teman memberikan kami batu yang besar-besar yang bisa dia dapatkan di sekitar
sana. Kami lalu mengalirkannya menuju jendela Jumadil dan tertawa cekikikan
ketika memasukkan batu-batu tersebut ke kamar Jumadil. Kami mulai membayangkan
dia akan berteriak histeris ketika masuk ke kamarnya. Licik memang, waktu itu
pikiran kami betul-betul tercampur sama kemarahan dengan Jumadil.
Saat
mengingat masa-masa itu, hatiku langsung menjadi bahagia dengan sendirinya.
Masa di mana ketika selesai sholat magrib di rumah, kami (aku dan teman-temanku)
akan berlari menuju masjid. Menyimpan sajadah di tempat strategis di dekat
tiang. Karena ketika lelah mendengarkan ceramah, kami bisa sandar-sandar di
sana. Kami akan berlari sembari tertawa sampai mata berair dan suara di
tenggorokan menjadi serak. Begitulah. Kegiatan yang sudah tidak bisa diulang seiring
dengan bertambahnya usia.
Selain
monopoli dan bermain ludo, kami sudah tidak pernah melakukan hal konyol seperti
itu lagi. Masa kecil yang betul-betul sulit dilupakan. Ketika berada di kaca
pesawat dari Jogja ke Makassar, ketika pesawat sudah berada di atas kota
Makassar, aku serasa ingin cepat-cepat pulang ke Sengkang. Kota yang setiap
sudutnya punya kenangan tersendiri. Kota yang ketika kulihat orang-orangnya,
aku selalu merasa ingin memeluk mereka satu-satu. Bersyukur bahwa kota ini,
dengan segala perkembangannya, tetap masih mau menyimpan kenangan masa kecilku
yang tidak akan pernah bisa digadai dengan apapun. Mungkin inilah salah satu alasan, kenapa orang-orang tidak suka tumbuh menjadi dewasa. Karena barangkali di kepala kita semua, sudah tumbuh anak kecil yang selalu senang bermain dan berbahagia dengan hal-hal yang sederhana.
Sengkang,
terima kasih.
Aku
begitu bahagia dibesarkan di kota kecil ini.
Jika
kamu adalah manusia, kita pasti bisa menjadi sahabat baik.
Sayang
kamu adalah sebuah kota.
Kota
dengan banyak cerita yang menyenangkan.
Jadi
sekali lagi, terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Entri Populer
-
Apa yang kalian rasakan ketika jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah tahu kalau ia sedang dijatuhcintai? Sakit? Pedih? Mungkin seperti...
-
Selamat pagi, Mei. Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana. Termasuk yang satu ini. ...
-
Selamat memasuki bulan kemarau! Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim k...
-
Aku tidak tahu apa-apa, atau maksudku aku hampir tidak tahu apa-apa tentang orang yang mengaku sangat mencintaiku itu. Semalam ada...
-
Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu....
-
Makassar; abu-abu bulat putih. 8 Februari 2015. Untuk kakak yang berurusan dengan kapal tapi mencintai sastra. Selamat pagi dari hello 64...
-
Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui ban...
-
Belajar dari kepergian yang kemarin, semoga tuan muda dalam tulisan ini berkenan untuk tetap tinggal. Bersamaku. Apapun yang terjadi. Sel...
0 komentar:
Posting Komentar