Cak Nedi dan Hidup yang Biasa-Biasa Saja

Memangnya kenapa hidup harus luar biasa sekali seperti tampilan foto-foto kesuksesan orang di media sosial?

           Sebenarnya aku tidak tahu harus membicarakan apa soal sosok Cak Nedi. Orangnya tidak terlalu banyak bicara. Aku mengenalnya hanya dari obrolan singkat seputar uang kembalian saja. Selebihnya kami diam, dia asik mengipasi satenya dan aku sibuk menghabiskan sate andalanku. Semalam aku mendapat kabar Cak Nedi sudah tidak ada dari anak perempuannya. Pertanyaan yang malas sekali kuutarakan karena takut mendapat kabar buruk seperti ini. Kematian benar-benar menyebalkan.

            Meskipun aku tidak memiliki keterikatan istimewa dengan makanan bernama sate, tapi dirantau, ingin sekali aku rasanya menikmati makanan-makanan yang sesuai dengan lidah Bugisku. Tidak bergula, manis secukupnya, sambel yang pedas. Makanan-makanan yang seperti itu cukup sulit kutemukan di Yogyakarta, makanya aku lebih memilih memasak sendiri di kosan. Tapi ini bukan cerita tentangku, melainkan tentang Cak Nedi, bapak penjual sate andalanku di Jakal.

            Aku tidak tahu Cak Nedi sejak kapan berjualan di samping Apotek K24 Jakal. Setahuku, dia sudah punya banyak langganan yang rela datang langsung karena Cak Nedi tidak memasukkan warungnya ke aplikasi makanan siap antar. Saking ramainya, Cak Nedi yang biasa berjualan sendirian kadang keteteran. Saat makan di sana, pemandangan piring bekas orang di atas meja yang belum dibawa ke belakang tenda untuk dicuci selalu menghiasi warung Cak Nedi. Biasanya jika sudah seperti itu aku membawakannya ke belakang. Cak Nedi tidak menyadari itu karena dia asyik membakar sate. Ya, Cak Nedi itu memang idealis sekali. Dia tidak suka memberikan sate yang sudah dingin kepada orang-orang, jadi tiap ada yang pesan akan dibakarkannya lagi meskipun sate itu sebenarnya sudah dibakar sejak tadi.

            Aroma asap sate beserta abu-abunya menjadi hal biasa di warung Cak Nedi. Makanya kadang aku bingung kenapa dia tidak menaruh pembakarannya di sisi kanan meja, biar abunya tidak mengenai orang yang sedang makan. Tapi mungkin itulah gaya berjualan sate ala Cak Nedi, kau makan satenya, kau nikmati juga asapnya. Cak Nedi akan menghilang saat pelanggannya sudah banyak. Sebab dia harus ke belakang tenda untuk mencuci piring dan gelas, sementara satenya sudah bertengger di pembakaran. Jika sedang tidak ramai, Cak Nedi akan dengan santai merokok depan pembakarannya sambil terus mengipasi sate. Ingat ya, Cak Nedi adalah old school dan jika suka kau bisa menyebut Cak Nedi sebagai seorang luddite, orang-orang yang tidak suka dengan teknologi.

            Tapi memang benar, Cak Nedi tidak pernah memainkan ponsel di warung. Aku bahkan sangsi dia punya ponsel pintar seperti orang-orang hari ini. Dia tidak suka membakar satenya dengan kipas angin. Maka dia tetap memilih mengipasnya sendiri, walau kadang kulihat matanya berair karena asap. Selain tidak ada kipas angin dan ponsel pintar, Cak Nedi juga tidak menyediakan es di warungnya. Dia mungkin saja berkomitmen untuk memberi air hangat kepada semua pelanggannya sehabis makan (karena itu lebih sehat) dibanding menyediakannya es untuk dibuat es teh. Jangan salah, meski tak ada menu es teh, Cak Nedi akan memberikanmu potongan bawang merah segar dan sambel yang mantap. Tentu ini sesuai dengan permintaan.

            Cak Nedi sudah menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu istimewa, toh hidup ya begini-begini saja. Sekarang Cak Nedi sudah beristirahat dengan tenang entah di mana. Hari ini tepat 41 hari kematiannya. Aku tidak suka menggunakan kata “pergi”, karena Cak Nedi, bapak-bapak penjual sate yang pendiam itu tidak akan pernah pergi dari ingatanku. Menurut penjelasan anaknya, Cak Nedi memang setahun belakangan ini menderita penyakit Liver, ada yang bermasalah di hatinya, di mana aku dan mungkin saja pelanggan Cak Nedi akan sepkat bahwa itu bisa terjadi karena Cak Nedi sangat pekerja keras dan lupa beristirahat. Tiada hari tanpa berjualan, itulah Cak Nedi.

            Sekarang warung sate Cak Nedi dilanjutkan oleh seorang lelaki dan perempuan. Mereka ini anaknya Cak Nedi. Tapi tentu setelah tidak dipegang oleh Cak Nedi lagi, warung satenya mengalami beberapa perubahan. Lelaki itu memasang kipas kecil, jadi dia tidak lagi mengipasi satenya. Bawang merahnya pun kini sudah disediakan, tidak harus dikupas lagi saat ada yang minta. Tempat sambelnya pun lebih besar dari sebelumnya. Kalau soal piring di atas meja, tentu semua sudah hilang karena anak perempuan Cak Nedi sangat rajin mencucinya di belakang tenda.

Apapun itu, semoga perjalanan Cak Nedi dipermudah menuju tempat yang terbaik.

Dada, Cak Nedi. Sampai jumpa di lain waktu.

 

 

Mewajarkan Kekerasan Atas Nama Agama


            Indonesia yang harusnya menjadi rumah yang aman, tempat semua warganya berlindung, kini menjadi sangat mengerikan ketika beragam isu yang menyangkut ranah agama mulai muncul dan menimbulkan banyak polemik. Sekumpulan orang yang mengatasnamakan diri sebagai pembela agama, kemudian menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang mereka anggap benar. Seperti isi dalam kitab yang mereka yakini tidak memiliki satu kesalahan pun. Tindakan kekerasan yang bukan hanya berupa kekerasan fisik, tetapi jauh lebih dari itu dirasakan oleh segelintir orang yang menjalani hidup berbeda dengan orang lain.
            Mari sedikit merambah pada sesuatu yang sering menjadi buah bibir, yaitu LGBT. Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam menjadikan itu sebagai suatu kesalahan terbesar. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) seakan menjadi suatu penyakit menular yang menakutkan seluruh warga kota. Padahal tentu saja, mereka tidak ingin seperti itu. Orang-orang yang menjadi LGBT bukanlah orang-orang tanpa Tuhan dan agama. Mereka lahir tentu saja mengikuti agama dari kedua orang tuanya dan tentu saja tidak ada agama manapun yang menyuruh mereka menjadi begitu.
            Yuli Rustinawati, salah seorang pegiat hak asasi manusia dari Arus Pelangi, kemudian memaparkan bahwa data pada tahun 2013, sebanyak 89,3 LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Terjadi 142 kasus penangkapan, penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok LGBT. Jumlah tersebut tentu saja bertambah dari tahun ke tahun, mengingat para LGBT semakin menggaungkan suara untuk mendapatkan hak-haknya dan diterima sebagaimana masyarakat pada umumnya di negara mereka sendiri.
            Mewajarkan sesuatu demi apa yang diyakini benar dan tidak bisa lagi terbantahkan, meski harus melalui jalan kekerasan sesungguhnya tidak akan pernah berhasil. Semua manusia memiliki pengalaman dan mendapatkan pendidikan yang berbeda. Wajar saja bila pola pikir mereka cenderung dipengaruhi oleh apa yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Sayangnya hal tersebut menjadikan mereka menutup diri tentang bagaimana pendapat orang lain. Mereka seakan memberikan ruang di kepala berisi apa saja yang mereka mau dan tentu ruangan tersebut memiliki pintu yang keras dengan kunci yang besar dan tidak akan terbuka bila bukan pemiliknya sendiri yang menginginkan.
            Kekerasan yang diterima oleh kelompok LGBT adalah kekerasan yang membuat psikis mereka terguncang, mereka merasa tidak aman, dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan (apalagi dibuktikan dengan paparan seorang dokter yang mengatakan mereka bisa terkena penyakit kelamin), hingga tidak dibiarkan bekerja di beberapa tempat tertentu. Mematikan nurani dan pikiran sekaligus, tidak masalah lagi bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dalam agama, menjadi LGBT adalah suatu dosa besar. Padahal jika mereka, para orang-orang pembela agama ini (meskipun agama dan Tuhan tentu saja tidak perlu dibela) mau melakukan musyawarah dan berbicara dengan kepala dingin kepada para LGBT, bukan tidak mungkin suatu solusi besar bisa dihasilkan. Daripada terus menerus meneror mereka dengan mengeluarkan ayat dan sabda-sabda tentang betapa laknatnya mereka dan betapa neraka jahannam telah menunggu mereka sesaat setelah mereka meninggal.
            Kembali bercerita tentang hal remeh temeh di negara tercinta kita. Semua orang di Indonesia tentu akrab dengan nama Dorce Gamalama. Seorang transgender yang sempat wara-wiri di stasiun TV. Dorce adalah sebagian kecil dari LGBT yang berhasil bertahan hidup dan jaya hingga hari ini. Tidak ada yang mencercanya dengan sangat beringas, meski tidak bisa dipungkiri juga bahwa tidak semua orang bisa menerimanya saat pertama kali muncul di layar televisi kita saat itu.
            Namun kisah Dorce yang sukses dan bisa hidup aman hari ini, tidak lebih dari mimpi yang diterbangkan koran pagi bagi mereka, para waria yang masih menggantungkan hidupnya dengan mengamen di mana-mana. Entah saya lupa pernah baca di mana, Dorce Gamalama saat diwawancarai oleh sebuah media tentang LGBT, dengan tegas mengatakan bahwa orang-orang akan menghargai kita hanya ketika kita memiliki banyak uang. Mengingat itu, saya mengangguk dalam hati. Toh, bukannya hari ini sudah terbukti?
            Pada akhirnya, mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan dalam masalah apapun itu seperti contoh kecilnya adalah LGBT sudah tidak seharusnya lagi diteruskan. Bukankah setiap agama menganjurkan untuk bermusyawarah? Apakah ada jaminan masuk surga bagi mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan menghilangkan hati nurani yang diberikan dari Tuhan, semata demi menyakiti orang lain? Kalau jawaban dari pertanyaan terakhir adalah iya, mungkin sebaiknya kita mengkaji kembali ilmu agama yang kita miliki secara mendalam. Cheers!

KEKHAWATIRANKU TENTANG MENJADI TUA DAN MATI


            Minggu pagi yang cerah dan Jogja yang sudah mulai sehat seperti biasanya. Entah apa yang dirasakan si Gunung Merapi setelah terbatuk-batuk tempo hari. Memikirkannya saja aku sudah tidak bisa. Kasihan dia, tua dan renta. Ditinggalkan juru kuncinya yang meninnggal dalam peluknya, meninggal sembari bersujud di sekitarnya.
            Aku tidak tahu banyak cerita soal kota yang kutempati sekarang. Jogja (meskipun aku tahu tulisannya Yogyakarta, tapi agak aneh menuliskannya dengan nama Yogya, jadi kuputuskan menggunakan Jogja) adalah kota yang ramah menurutku. Dia mau saja didatangi oleh siapapun dan darimanapun. Termasuk aku yang akan menghabiskan dua tahunku di sini.
            Pagi ini aku terbangun dengan perasaan gundah. Sudah 23 tahun umurku. Beberapa temanku di usia seperti ini sudah ada yang punya anak 2, sudah ada yang hamil besar, ada yang sebentar lagi melahirkan, dan ada yang sedang menghabiskan waktunya menikmati tumbuh kembang anaknya. Tetapi ada pula yang sedang giat-giatnya menyiapkan pernikahan, ada yang masih asik pacaran, dan tentu saja ada yang betah sendirian. Begitulah—di usia sekian, kita akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari situasi sosiokultural kita. Ada temanku yang kadang bertanya, jadi kamu selesai S2 mau langsung menikah dong? Aku hanya geleng-geleng kepala, di dalam hati aku berkata, sesungguhnya inilah cita-cita terbesar dari mamaku, yang sayangnya enggan untuk kuwujudkan.
            Semalam aku baru saja menonton sebuah video, ada seorang wanita yang berasal dari latar belakang budaya yang kental dan mengharuskannya mengikuti semua kata orang tuanya, termasuk ketika disuruh menikah di usia 19 tahun oleh ayahnya. Meskipun setelah itu dia tidak pernah hidup bahagia. Katanya, aku hidup di keluarga yang budayanya tidak pernah menerima anak-anak yang pembangkang. Jadi aku menuruti semua kata orang tuaku, termasuk menikah, meski aku tidak merasakan bahagia sedikitpun. Aku membayangkan aku adalah dia dalam kondisi yang serupa. Dengan kondisi psikologis sepertiku, aku tidak yakin masih bisa hidup sampai hari ini.
            Di suatu malam saat mamaku sedang ada di kebun untuk memetik cengkeh yang sedang naik harganya itu, aku berbicara melalui sambungan telepon tentang banyak hal. Kuberitahu mamaku kalau terkadang, aku ingin belajar sesuatu tanpa merasa dikejar oleh satu kewajiban. Menghabiskan S1 dengan belajar untuk mencari materi skripsi sudah menyulitkanku, Ma. Ditambah lagi dengan S2 yang waktunya sangat singkat dan mengharuskan kita berkuliah demi mencari materi mendalam soal tesis. Begitulah kira-kira kalimat yang kupilih untuk kusampaikan pada mama yang kadang perasaannya halus, mudah tersinggung, dan kepikiran yang membuat tidurnya kadang terganggu.
            Aku mengatakan bahwa aku setuju jika hidup akan selalu membawa kita ke sebuah tujuan. Tapi rupanya, kutemukan diriku mulai jenuh dengan itu. Aku berangan-angan belajar tentang sesuatu dengan sangat tenang dan pelan. Merasakan ritmenya dan memasukkannya ke dalam kepalaku secara sangat perlahan. Tidak terlalu terburu-buru (meskipun aku adalah orang yang jauh dari kata tenang) seperti yang pernah, dan saat ini aku lakukan. Aku tidak ingin dikejar oleh tugas akhir, oleh pertanyaan-pertanyaan menikah, oleh pertanyaan-pertanyaan setelah S2 mau apa (yang bahkan dilontarkan oleh orang terdekatku sendiri dan itu sungguh menyebalkan)
            Kadang di suatu sore aku terbangun. Memandangi tembok merah jambu kamar kosanku yang sempit, sembari memikirkan tentang masa depan. Uh! Kepalaku buntu. Maksudku, aku ketakutan ketika pulang dan orang tuaku menyuruhku menikah dengan tameng, mereka sudah akan pensiun dan ingin melihat orang yang menjagaku sampai mati itu datang sebelum mereka selesai bekerja. Beh. Suatu tuntutan mengerikan dari hasil budaya masyarakat kita. Terlebih di daerahku, yang sayangnya, pada taraf tertentu orang tuaku dan bahkan semua orang (atau tepatnya tetua dan itu menurun) menganut itu. Bahwa anak gadis usia 25 tahun jika belum menikah akan dikatakan sebagai anak gadis tidak laku.
            Ketika ditanya oleh orang, ingin jadi apa aku setelah S2? Mau ke mana aku? dan mengadopsi pernyataan mamaku yang bilang, kalau lulus nanti, belum bekerja, kamu menikah saja dulu. Setidaknya orang bilang kamu sudah menikah jadi belum sempat cari kerja. Tiba-tiba aku merasa menjadi seseorang yang.. Oh, segitu bodohnyakah aku sampai tidak bisa mendapatkan pekerjaan satu pun bahkan ketika gelar S2 sudah kudapatkan? Sebodoh itukah sampai aku harus membayarnya dengan pernikahan yang tidak pernah kuinginkan itu?
            Sebenarnya ketika aku mau idealis dan melenceng jauh dari apa yang kulakukan saat ini, ingin sekali rasanya aku bekerja di sebuah yayasan atau apalah namanya itu yang bergerak untuk mengobati orang-orang disabilitas mental. Merawat dan ketika sembuh mengantarkannya pulang, sambil sesekali mengirimkan tulisan yang bisa dimuat oleh media dan dibaca oleh orang-orang yang barangkali tertarik. Tapi pekerjaan itu, tidak akan menghasilkan uang banyak. Tidak akan bisa membuat uangku cukup membeli krim dokter yang sebulannya 350 ribu. Tidak akan bisa menanggung kuota internetku yang 75 ribu perbulan. Tidak akan bisa membeli Natripku yang 130 satu tempat. Tidak akan bisa mengongkosi jalan-jalanku, biaya kosan, dan cemilan-cemilanku. Tidak akan bisa mencukupi itu semua, tapi kurasa, dengan segala keterbatasan itu, akan ada bahagia yang kudapatkan. Bahagia bukan melulu persoalan berisinya ATM bukan?
            Jadi mengapa ketika ditanya persoalan menikah sama semua orang terdekatku, aku masih selalu saja mengacuhkan mereka? Karena ya memang tidak pernah terpikir olehku untuk seperti itu. Biarlah kakakku yang sebentar lagi menikah itu, yang akan memberikan bayi-bayi lucu untuk orang tuaku. Menjadikan mereka kakek dan nenek dan menghadiahiku gelar baru sebagai tante. Aku rasa ketika kakakku sudah memenuhi kewajibannya beranak-pinak seperti manusia kebanyakan, tugasku sudah selesai untuk memberikan hal yang sama pada kedua orang tuaku. Tapi ternyata tidak pernah sesederhana itu.
            Aku menjadi curiga. Hidup ini menurut anggapan banyak orang adalah sebuah keteraturan yang ketika dilanggar akan memberikan sebuah hukuman bagi kita. Ketika disentil sedikit akan diteriaki antek PKI, kaum liberal, atau pada taraf yang lebih ekstrim, sebagai orang yang tidak punya agama. Semua orang berubah menjadi sosok bijak yang sibuk mempertanyakan sedalam apa agama yang kita anut selama ini. Sedalam apa kita mengenal Tuhan. Semelenceng apa ilmu yang kita dapatkan hingga membuat kita bisa memiliki cara pandang sedemikian rupa dalam melihat sebuah fenomena. Pfth.
            Tidak pernah terpikir olehku bagaimana kemudian aku menikah, bagaimana kemudian aku terpisah dari orang tuaku, bagaimana ketika aku hamil, bagaimana dengan pekerjaanku, bagaimana dengan anak-anakku, dan sialnya bagaimana cara mengurus suamiku agar betah denganku dan tidak direbut wanita lain. Meh! Membayangkannya saja aku menjadi mual. Bagaimana ya itu menjelaskannya, ya pokoknya seperti itu. Kalaupun suatu hari aku menikah, aku ingin orang yang membuatku yakin untuk tumbuh tua bersamanya, adalah orang yang paham kerasku seperti apa. Orang yang mendengarkanku bercerita random dan menanggapinya dengan tidak melulu bilang iya, hahaha, atau kata-kata lain sebagai basa-basi belaka. Orang yang menyeimbangiku dalam semua hal, orang yang ketika hari libur tiba, kuhabiskan waktuku bersamanya membahas buku-buku baru yang sedang atau sudah kita baca. Orang yang tidak mendengarkan kata tetangga dan manusia-manusia tukang komentar lainnya. Orang yang tidak memperlakukanku sebagai budak dengan menyuruh kanan kiri dengan dalih itu tanggung jawabku sebagai seorang istri. Orang yang tidak membentukku dan mengubahku menjadi boneka yang dia senangi. Tapi orang seperti itu juga tidak akan pernah ada di bumi ini.
        Seperti itulah kira-kira yang bisa kutuliskan. Hanya mengeluarkan isi kepala yang bosan membatu dengan perihal itu melulu. Aku percaya, meskipun tidak selalu menyelamatkan, menulis bisa menjadi terapi menyenangkan saat tidak ada lagi orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah, atau saat keluh kesah hanya akan berakhir di teks Whatsapp atau dering telepon pada seseorang yang jauh. Jangan mencari pencerahan dari sini. Kamu tidak akan mendapatkannya. Selamat pagi dan oh ya, sesekali berhentilah berpura-pura, dirimu juga butuh yang namanya bahagia.

KETIKA MEMILIH ANTARA BEKERJA, KULIAH, ATAU MENIKAH



Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu. Jadi selama ini saya sedang sibuk mengurusi kelanjutan hidup setelah lulus S1 di Universitas Hasanuddin. Adalah pilihan yang cukup sulit ketika memutuskan akan mencari kerja atau melanjutkan kuliah. Kamu akan merasakannya bila mencapai titik yang sama dengan saya kemarin. Bisa juga saya tidak mengambil dua pilihan tadi, bila saya menyerah dan akhirnya menikah. Kata orang, perempuan seusia saya bahkan memilih seperti itu.
Lulus di bulan Maret 2017--sehari sebelum saya menginjak 22 tahun—saya mulai berpikir apa yang akan terjadi nanti. Sebelum wisuda saya sudah mencari pekerjaan apa yang bisa saya dapat—mengingat ada banyak pengagguran dengan gelar S1 seperti saya yang sedang melakukan hal yang sama. Semangat menggebu-gebu saya hanya bertahan di tiga bulan pertama setelah wisuda untuk mencari kerja. Kakak saya menawarkan diri untuk mengantar saya mengitari bank-bank yang bisa saya masukkan lamaran di sana—ketika kiranya mereka kehilangan salah satu customer servicenya secara mendadak dan tidak punya pengganti. Sewaktu itu, saya memfokuskan diri mencari pekerjaan yang hanya memerlukan suara saya. Sewaktu itu pula, saya selalu merasa tidak bisa apa-apa, selain berbicara tentu saja.
Tiga bulan nihil, tidak ada panggilan apapun. Saya mulai berpindah mencari pekerjaan di dunia virtual. Beberapa panggilan datang, beberapa saya tolak dan sebagiannya lagi setelah sampai di tahap wawancara, tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Alhasil, singkat cerita saya kurang lebih menganggur selama hampir setahun. Memang menyenangkan karena saya masih dikirimi uang oleh orang tua sementara saya tidak melakukan apapun di Makassar waktu itu. Kerjaan saya cuman lalu lalang ke café-café, mengejar wifi, tes online sana-sini. Ada begitu banyak orang yang membantu saya untuk bangkit ketika lagi-lagi gagal yang saya temui. Merekalah yang menopang dan mendorong saya dan mengatakan saya bisa apa-apa. Merekalah yang tidak pernah absen mengingatkan bahwa jalan kita macam-macam. Mengingatkan saya, bahwa hidup akan terus berlanjut dan saya sudah seharusnya bangun lagi.
Menjelang akhir 2017, saya iseng membuka situs UGM dan membaca bahwa UGM kembali menerima mahasiswa pascasarjana tahap kedua. UGM memang membuka 2 kali dalam setahun. Saya pernah mendaftar di bulan April 2017 kemarin. Sayang, belum rejeki saya. Saya tidak lulus karena memang harus saya akui TOEFL dan TPA saya pas-pasan untuk masuk di jurusan Ilmu Komunikasi jenjang S2. November 2017 saya mencobanya sekali lagi. Dengan memohon restu kedua orang tua saya—utamanya bapak saya yang begitu benci berjarak dengan anak-anaknya—saya akhirnya memberanikan diri  mendaftar kembali. Saya mempersiapkan semua berkas di bulan November. Mulai dari memperbaiki proyeksi keinginan, melihat skor TOEFL terbaru, memperbaiki esai motivasi, dan mencari kembali sertifikat TPA yang saya miliki. Awal Desember, saya berangkat ke Jogja (PS: Penulisannya harusnya Yogyakarta. Tapi begitu nyaman menyebutnya dengan Jogja) dengan menggunakan pesawat pertama di hari senin yang cerah.
Selepas mengurus semuanya, saya kembai ke Makassar dengan harap-harap cemas apakah akan gagal lagi seperti kemarin atau malah berhasil. Sepertinya jawaban dari do’a do’a orang tua menjawab semuanya. Tepat sebulan hari ini saya berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Ini membuktikan bahwa tidak akan pernah tidur Tuhan ketika mendengar do’a hambanya.
Tulisan saya ke depannya akan berceita tentang suka duka mahasiswa pascasarjana, bedanya Makassar dan Yogyakarta, atau tentang materi-materi yang saya dapatka sejauh kuliah saat ini. Jadi bagimu yang mencari tulisan-tulisan seputar perasaan ditulisan-tulisan saya nantinya, sepertinya akan susah. Terima kasih sudah membaca.

Kenapa Orang Rindu Kampung Halaman?


            Aku menulis ini dan kemudian dibaca olehmu karena barangkali kamu tertarik dengan judulnya. Mungkin saja kamu hanya iseng mengklik blog tidak terkenal seperti ini. Apapun alasanmu, aku akan memberitahu sesuatu. Kamu tidak akan mendapatkan banyak manfaat dari membaca ini. Karena aku hanya akan membawamu mendengarkan cerita-cerita yang ku sajikan dalam bentuk yang sangat sederhana. Tentang betapa pendosanya aku di masa kecil (meski sekarang juga masih) bersama teman-teman tidak sebayaku. Kamu bisa menikmatinya sembari menyaksikan senja atau matahari terbit di kotamu. Dua hal yang selalu luput diperhatikan orang-orang yang hidupnya serba cepat. Atau kamu bisa menutupnya sekarang kalau kamu tidak tertarik dengan pengantarku barusan.
            Untukmu yang masih berlanjut membacanya sampai sekarang, aku akan menceritakannya secara perlahan. Sebab kadang aku menulis terlalu acak. Aku berusaha tentu saja. Ini kulakukan semata agar kamu bisa mengerti dan syukur-syukur kalau kamu bisa paham apa yang kurasakan waktu itu. Sewaktu mengalami kejadian-kejadian tersebut atau kamu bisa membayangkan dirimu adalah aku di waktu dulu.
            Jadi sebentar lagi aku akan pergi ke kota lain untuk menuntut ilmu. Aku menulis ini di bulan Ramadan. Waktu bagi para pelajar (entah untuk para pekerja) adalah waktu yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Halaman berapa? Oh, ini bukan buku. Bukan kata-kata yang sering disajikan orang-orang menjadi beberapa bait puisi. Lebih tepatnya ini adalah sebuah tempat yang membuatmu selalu merasa berada di ‘rumah’.
            Kampungku di Sengkang. Kamu tidak akan menemukannya di peta. Sengkang terletak di Sulawesi Selatan. Dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan, Sengkang bisa ditempuh 4-5 jam tergantung kecepatan supir yang membawamu. Kamu bisa ke sini dengan melewati dua rute, lewat Bulu’ Dua atau Camba. Kalau lewat Camba, sepanjang perjalanan kamu akan dipaksa untuk tidur. Harus tidur. Sebab jika tidak, bagi kamu yang suka mual ketika perjalanan jauh, akan muntah. Karena melewati Camba serupa melewati sirkuit balap yang kemiringannya betul-betul membuat kita berdzikir dan mengingat Tuhan sesering mungkin.
Camba adalah jalanan berkelok terjal yang ketika kamu melongo ke bawah, kamu hanya akan melihat jurang yang dalam. Ketika menengok ke samping, kamu akan menemukan pepohonan lebat dan batu-batu besar. Ketika menengok ke atas, kalau sedang beruntung dan kamu melewatinya di pagi hari, kamu bisa bertemu banyak monyet yang bergelantungan seenaknya. Dengan banyak rintangan yang kamu lalui ketika melewati Camba, kamu mendapatkan satu keuntungan; yaitu Camba adalah jalur tercepat menuju Sengkang.
            Setelah membaca sedikit cerita soal Camba, kamu akan berpikir lebih baik melewati Bulu’ Dua saja. Bulu’ Dua adalah rute yang aman dan paling sering dilewati orang-orang yang mau berkendara santai-santai. Di Bulu Dua cuacanya sangat dingin ketika musim hujan tiba. Kamu bisa melihat napasmu melayang-layang di udara setelah kamu hembuskan. Jalan ini hanya lurus lurus saja tanpa kelokan yang berarti. Hanya saja, ini adalah rute yang jauh. Banyak mobil sewa tidak akan melewati tempat ini karena lama. Banyak, tapi tidak semua.
            Aku kemudian menjadi bingung kenapa ceritaku sudah menjalar ke mana-mana. Jadi coba berhentilah membaca. Sekarang tanya dirimu. Kamu pernah merasakan apa saat pulang ke kampung halamanmu? Kamu punya? Atau kamu adalah orang yang besar di kota?
            Kalau kamu sudah menjawab itu, lanjutlah membaca.
            Jadi kampung halaman menurutku adalah tempat yang di mana kamu besar, tumbuh, menghambiskan hari-harimu, berinteraksi, dan merasa bahwa itu adalah ‘rumah’. Hal yang sama ketika aku menemukan seseorang yang kurasa sangat dekat hingga tidak ada cela lagi dengannya, seseorang yang kusebut sebagai ‘rumah’. Tempatku pulang.
            Aku menamai Sengkang sebagai ‘rumah’. Karena setiap aku pergi jauh darinya, selalu ada rindu yang harus kutampung dalam hati. Sengkang di kepalaku menjadi kota sederhana yang di mana, setiap sudutnya sudah kubuatkan kenangan baik-baik. Yang kelak ketika aku kecelakaan dan amnesia dan lupa semuanya, orang-orang terdekatku bisa membawaku ke sana dan aku berharap bisa mengingatnya kembali.
            Jadi di Sengkang aku tinggal di sebuah kompleks perumahan atau yang akrab disebut oleh orang sini adalah BTN. Aku tinggal di BTN Pepabri. Pepabri adalah singkatan Pensiunan Para ABRI. Aku lupa pernah mendengarnya di mana. Ya meskipun memang harus kuakui kalau di tempat ini, banyak orang yang sudah berusia lanjut menetap.
            BTN Pepabri dulunya hanya memiliki satu masjid. Masjid yang selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang. Tapi saat ini sudah ada 3 masjid yang berdiri. Barangkali ini bisa jadi alasan kenapa masjid yang dulu sudah kekurangan jama’ah. Aku tak pandai soal agama. Jilbabku tidak turun menutupi dada. Pakaianku masih menunjukkan lekuk tubuh. Aku masih menyentuh lelaki ketika bersalaman. Aku masih sering melepas jilbab ketika berada di rumah orang. Tapi, masa kecil di sebuah masjid di BTN Pepabri sangat membuatku bahagia. Bahkan hingga usiaku yang ke 22 ini.
            Masjid pertama itu bernama masjid Jannatul Firdaus. Masjid yang dulunya masih sangat sederhana. Jam dindingnya kadang tak jalan, belum ada jam untuk menentukan iqamah. Belum memiliki AC. Belum ada kamar mandi yang cantik. Belum ada kipas angina tornado. Belum seperti sekarang ini.
            Di masjid itu, aku menghabiskan banyak waktu ketika Ramadan tiba. Aku rajin sholat subuh karena setelahnya, aku dan beberapa tetanggaku yang tadi kukatakan kami tidak sebaya, akan pergi berlajan-jalan subuh. Rutinitas yang wajib kulakukan di bulan Ramadan. Setelah jalan-jalan subuh, kami akan pulang untuk mengaji dan tidur. Ketika duhur, kami akan bangun kembali dan saling memanggil ke rumah satu sama lain untuk berangkat ke masjid bersama-sama. Hal yang membahagiakan sekali ketika sampai di depan rumah tetangga dan berteriak, “Epi, ayokmi.” Dan ada jawaban dari dalam, “Iya, tungguma.”
            Temanku ada 3 orang. Dulunya. Sekarang ada 4. Samaku kami berjumlah 5. Kami akan pergi ke masjid untuk sholat duhur. Udara panas tidak mematahkan semangat kami. Beberapa temanku membawa permainan seperti monopoli dan kartu untuk dimainkan di masjid sembari menunggu sholat ashar tiba. Oh ya, aku dan teman-temanku senang menunggu sholat ashar di masjid. Jadi kami bisa bermain (sesekali mengaji) sepuasnya.
            Aku ingat ketika selesai sholat duhur, kami akan ke belakang masjid. Duduk dan membiarkan wajah kami ditiup angin sepoi-sepoi. Di belakang masjid ada hamparan sawah yang sangat luas. Kami tidak tahu itu  milik siapa. Kami hanya menikmatinya. Kalau dibayar, kami tentu saja tidak punya uang. Untungnya itu gratis.
            Selesai menikmati sepoinya angin, kami lantas masuk untuk bermain. Aku amat mengingat ketika itu ada seorang marbot masjid bernama Jumadil. Waktu itu juga ada imam di masjid ini, imam terbaik yang pernah kulihat. Meski bacaannya panjang-panjang dan pernah membuatku pingsan saat sholat tasbih, aku tetap menyukainya. Oh ya, soal Jumadil. Jumadil adalah lelaki tinggi dengan wajah lonjong dan mata sedikit besar. Dia selalu memarahi kami ketika bermain di masjid. Padahal kami hanya bermain monopoli atau bermain kartu. Jumadil sampai pernah memberikan kami tikus mati dari atap kamarnya untuk membuat kami pergi. Kami yang marah, saat itu mulai membenci Jumadil yang jahat.
            Di suatu malam, saat seorang bapak naik ke mimbar untuk berceramah, kami yang dibantu dengan anak lorong sebelah (mereka juga membenci Jumadil) merencanakan sesuatu untuk balas dendam pada Jumadil. Kenakalan masa kecil yang lucu. Kami akhirnya keluar dari masjid dan menuju kamar belakang, tempat Jumadil tinggal. Seorang teman memberikan kami batu yang besar-besar yang bisa dia dapatkan di sekitar sana. Kami lalu mengalirkannya menuju jendela Jumadil dan tertawa cekikikan ketika memasukkan batu-batu tersebut ke kamar Jumadil. Kami mulai membayangkan dia akan berteriak histeris ketika masuk ke kamarnya. Licik memang, waktu itu pikiran kami betul-betul tercampur sama kemarahan dengan Jumadil.
            Saat mengingat masa-masa itu, hatiku langsung menjadi bahagia dengan sendirinya. Masa di mana ketika selesai sholat magrib di rumah, kami (aku dan teman-temanku) akan berlari menuju masjid. Menyimpan sajadah di tempat strategis di dekat tiang. Karena ketika lelah mendengarkan ceramah, kami bisa sandar-sandar di sana. Kami akan berlari sembari tertawa sampai mata berair dan suara di tenggorokan menjadi serak. Begitulah. Kegiatan yang sudah tidak bisa diulang seiring dengan bertambahnya usia.
            Selain monopoli dan bermain ludo, kami sudah tidak pernah melakukan hal konyol seperti itu lagi. Masa kecil yang betul-betul sulit dilupakan. Ketika berada di kaca pesawat dari Jogja ke Makassar, ketika pesawat sudah berada di atas kota Makassar, aku serasa ingin cepat-cepat pulang ke Sengkang. Kota yang setiap sudutnya punya kenangan tersendiri. Kota yang ketika kulihat orang-orangnya, aku selalu merasa ingin memeluk mereka satu-satu. Bersyukur bahwa kota ini, dengan segala perkembangannya, tetap masih mau menyimpan kenangan masa kecilku yang tidak akan pernah bisa digadai dengan apapun. Mungkin inilah salah satu alasan, kenapa orang-orang tidak suka tumbuh menjadi dewasa. Karena barangkali di kepala kita semua, sudah tumbuh anak kecil yang selalu senang bermain dan berbahagia dengan hal-hal yang sederhana.
            Sengkang, terima kasih.
            Aku begitu bahagia dibesarkan di kota kecil ini.
            Jika kamu adalah manusia, kita pasti bisa menjadi sahabat baik.
            Sayang kamu adalah sebuah kota.
            Kota dengan banyak cerita yang menyenangkan.

            Jadi sekali lagi, terima kasih.

Saat Semuanya Bergulir Semaunya


            Hidup adalah sesuatu yang sangat absurd untuk digambarkan. Begitulah menurut Maggie Tjiojakin. Aku salah satu orang yang menganut kepercayaan yang sama dengannya. Setelah melewati banyak hal yang tidak kuduga-duga dalam hidup. Termasuk kehilangan orang yang sampai saat ini menjadi penyesalan tersendiri untukku.
            Sedang waktu menjelma menjadi pelari yang tidak tahu kapan harus berhenti. Tidak pernah beristirahat, hanya mengambil napas panjang sesekali. Sudah tiga bulan aku lulus dan diberi gelar sarjana seperti seharusnya. Saat ini, hidup yang sesungguhnya benar-benar dimulai. Kata orang, hidup sebenar-benarnya adalah ketika kita lulus pendidikan dan diberikan banyak pilihan untuk melakukan apapun.
            Aku teringat tentang salah satu teman masa kecilku. Dia nampak bahagia dengan keluarga kecilnya. Dengan kedua anak lelakinya yang sudah pandai berlari dan bermain bersama. Dengan suami yang kulihat dari potretnya, amat menyayangi keluarganya. Tentu saja. Teman masa kecilku, yang mengajarkanku berenang ketika rumahnya kebanjiran, memang telah memilih nasibnya untuk menikah muda. Menurutnya, menjadi seorang istri juga merupakan suatu rejeki. Rejeki tidak hanya diukur dari tingginya tingkat pendidikan. Tapi lebih kepada bagaimana mengimplementasikannya.
            Cerita berbeda kudapatkan dari salah satu temanku yang melanjutkan pendidikannya dan berhenti ketika salah seorang polisi melamarnya. Saat ini, ia sudah memiliki anak lelaki yang tumbuh sehat dan selalu tersenyum manis ketika difoto.
            Aku kadang berpikir, bahwa kenapa waktu bergerak begitu cepat. Tanpa sempat dikendalikan oleh manusia. Seandainya bisa, aku bercita-cita mengendalikannya dengan baik. Kembali ke beberapa waktu yang lalu, mencegah agar tidak merusak semuanya. Namun sayang, manusia sepertiku tidak bisa secanggih itu.
            Sudah kuhabiskan waktuku untuk fokus membereskan masa depanku yang masih nampak berantakan dan entah akan ke mana. Aku melakukannya tentu saja, setelah berusaha mencari pekerjaan. Interview sana sini sudah kulakukan dan terhenti ketika membicarakan job desk dan salary. Barangkali ini dikarenakan ketakutan pribadiku tidak bisa mengerjakan apa yang perusahaan minta. Barangkali ini dikarenakan niatku dari dulu untuk lanjut harus kugadai karena skor TOEFL yang belum mencukupi.
            Namun ketika ada kesempatan, aku mencobanya. Aku akhirnya berangkat ke Jogja dengan tujuan untuk mengikuti tes masuk Pascasarjana di sana. Dengan segala ketergesa-gesaan, semua selesai sesuai target. Sekarang tinggal mengencangkan do’a dan berharap kabar baik di bulan Juli nanti menghampiri.
            Saat perjalanan Makassar ke Jogja, aku menemukan banyak sekali rupa-rupa orang. Tidak kutahu watak mereka seperti apa saat belum kuajak berbicara. Setelah tes, aku memilih mengasingkan diri ke Jakarta. Aneh, karena yang kupilih adalah kota yang ramai. Ya, tentu saja. Lagi lagi hidup adalah pilihan. Aku memilih ke sana karena kekurangan tidur setelah mengikuti tes dan aku butuh bertemu orang-orang baru. Kepalaku selalu ramai dengan wajah yang itu-itu saja. Membosankan dan mengganggu. Tapi apa dayaku. Ternyata perjalanan jauh belum mampu menghilangkan wajah itu dari dalam kepala. Padahal aku pelupa yang handal. Namun untuk yang satu itu, namanya jauh dari kata lupa. Mungkin karena banyak sekali yang kuhabisan dengannya. Mungkin karena perasaan yang masih setengah-setengah mengikhlaskan apa yang dia putuskan. Mungkin karena rasa bersalah yang tidak akan tertebus sampai kapanpun.

Meskipun aku tidak tahu akan berakhir seperti apa, tapi seperti teman-temanku yang lain. Aku akhirnya memilih. Menetapkannya dalam kepala. Dan membiarkannya membatu di sana. 

Melukis adalah Pekerjaan Untuk Tetap Menjadi Waras


            Sungguh, untuk merampungkan tulisan ini saya berpikir berulang-ulang dengan cara memutar-mutar bola mata. Sembari melirik-lirik sebuah lukisan aneh di sudut jendela yang rapuh. Mungkin karena terlalu sering diselimuti debu. Lukisan aneh itu adalah buatan saya. Lukisan yang hingga kini saya benci, begitu juga dengan guru pelajaran seni yang masih saya hapalkan tiap inci wajahnya sampai hari ini. Guru yang menurut saya semena-mena menyamaratakan tingkat kreativitas setiap siswa di kelas dengan standarisasi yang dibuatnya sendiri.
            Berbicara kreativitas, saya bisa saja digolongkan sebagai orang-orang yang tidak kreatif. Apalah saya ini yang menggunting saja masih miring. Saya tidak bisa juga menggolongkan diri saya dalam kategori orang-orang penikmat kreativitas. Tidak, saya tidak tahu tepatnya. Yang saya tahu, saya senang mencampurkan warna di atas kanvas. Saya benci menggambar, namun saya selalu senang ketika disuruh melukis sesuatu. Meskipun lukisan yang saya buat tidak pernah dipuji berlebihan oleh orang-orang, tapi saya tetap menyukainya. Saya ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki menjadi mahasiswa baru dan berjalan menuju ruang himpunan. Tiap kali ada senior yang bertanya saya senang melakukan apa, saya akan dengan lantang menjawab saya senang melukis meskipun gambar saya jelek. Mereka kadang tertawa. Tertawa karena jawaban saya aneh atau karena saya terlihat bodoh dengan jawaban seperti itu.
            Sepertinya hal lain yang harus saya lakukan selain membenci guru seni saya semasa SMA adalah saya juga harus berterima kasih pada beliau. Sebab tanpanya, saya tidak akan bisa merasakan membuat lukisan pertama. Tidak tahu bau cat ketika dicampurkan seperti apa. Tidak tahu bahwa melukis adalah salah satu jalan agar saya tidak menjadi gila. Tidak tahu bahwa selain menulis, melukis bisa membuat hati berbahagia dengan cara yang berbeda.
            Lukisan pertama saya hanyalah sekumpulan balon dengan warna seragam, dan satu balon dengan warna yang berbeda. Satu balon dengan warna yang berbeda itu terlepas dan terbang. Di atasnya, ada awan yang berwarna merah tembaga.  Dan tebaklah, lukisan yang saya kumpulkan sebagai syarat untuk ujian itu ditolak mentah-mentah hanya dengan alasan balonnya kurang bundar dan sedikit lonjong. Oh come on, sounds funny Sir. Bapak harusnya menilai bukan dari seberapa besar bundaran dalam balonnya, tapi seberapa sulit lukisan ini saya buat dengan susah payah selama beberapa hari. Tapi guru tetaplah guru. Maha besar beliau dengan segala aturannya. Lukisan saya dikembalikan dan harus diulangi lagi. Walhasil, jadilah lukisan abal-abal saya yang berada di sudut jendela ruang tamu terpampang dan ditatap oleh beberapa orang tamu yang pernah mengunjungi rumah saya di Sengkang.
            Lukisan pertama saya adalah cermin dari tingkat kreativitas saya yang demi apapun sulit untuk saya jelaskan pada tulisan ini. Saya amat sangat menyukai lukisan itu, melambangkan kebebasan. Sama dengan alasan mengapa saya memilih menulis dan melukis sebagai dua hal romantis yang berdampingan. Tidak perlulah saya mendapatkan kekasih yang pandai bernyanyi atau pandai menjemput dengan mobil sedan. Cukup yang mau menemani saya menumpahkan berbotol-botol cat hanya untuk mendapatkan lukisan terbaik yang kami buat bersama (atau lebih banyak dia, terserahlah).

            Jika Pram berkata “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, maka saya berkata “Melukis adalah pekerjaan untuk tetap menjadi waras”. Sebab saya mengalaminya, dan saran saya jika kalian sudah merasa sebentar lagi akan gila dan tidak tahu harus berbuat apa selain meratapi nasib, maka menulis dan melukislah.

SENGKANG DAN SATU HAL YANG PATUT DIKENANG


            Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui banyak hari dalam rahim ibu. Hingga mata mulai berani menantang dunia, perkenalan paling singkat akan disodorkan ibu tentang  bagaimana cara mengingat dan bagaimana cara belajar melupakan dengan cepat.
            Terakhir pulang menjenguknya, Sengkang hari ini ternyata sudah mulai tumbuh menjadi dewasa. Saya pikir masih kekanakan seperti dulu. Saya pikir masih banyak yang belum selesai dan sudah ditimbun duluan di situ. Oleh apa? Apalagi kalau bukan kaki-kaki penguasa dan tangan-tangan dingin orang-orang sekitar. Tapi Sengkang tetaplah Sengkang. Sedewasa apapun dia, akan tetap ada beberapa sisi yang menandakan bahwa dia pernah berada di umur kekanakan. Hingga saat ini.
            Saya akan menjadi anak yang gagap seketika saat seseorang datang dan bertanya tempat apa saja yang menarik di kampung halaman saya. Bukannya tidak ada, tapi karena terlalu banyak yang kemudian tidak bisa saya uraikan satu-satu dalam satu waktu. Halaman rumah merupakan  tempat paling menarik buat saya ketika pulang kampung. Lorong perumahan saya juga seperti itu. Sebab setiap saya pulang, akan selalu ada kucing-kucing baru yang muncul dan mengeong dengan keras di pintu samping saya.
Bercerita tentang kucing, tentu Kartono (kucing pertama yang membuat saya jatuh cinta) sudah tersenyum bahagia dan menua di surga. Dia lahir ketika hari kartini saat saya masih kelas 6 SD dan meninggal ketika saya masuk kuliah. Cukup lama memelihara Kartono membuat saya cukup mengerti dengan tingkah laku kucing ketika sedang patah hati, jatuh cinta, atau terluka. Kala itu Tono (atau Kartono) sedang jatuh cintanya pada seorang kucing betina yang warnanya biasa saja. Saat tahu kucing itu juga ada yang mendekati, Kartono menjadi patah hati dan malas makan (saya mengetahui ini ketika mengikutinya semalaman). Dia lebih senang tidur seperti kucing mati dan bermalas-malasan seperti kucing gemuk yang baru selesai memakan tikus busuk. Namun keesokan harinya, Tono membaik. Dia kembali mengejar kucing betina itu dengan ekor yang selalu berdiri tegak mengikuti langkah pujaannya dan dia bahkan sudah lupa untuk makan. Membuat tubuhnya menjadi semakin mengurus dengan tulang-tulang yang sudah mulai nampak. Saya benci ketika Kartono jatuh cinta. Dia menjadi jarang pulang ke rumah dan absen menggosok gigi sebelum tidur. Saya juga menyaksikan Kartono sedang terluka sehabis perang dengan kucing lain yang juga menyukai pujaan hatinya. Berlebihan memang, tapi kucing mau peduli apa?
            Hari itu, Sengkang mendung. Angin dingin berkunjung dan menggoyang-goyangkan pohon anggrek ibu yang mulai rapuh. Kartono pulang dengan luka menganga pada lehernya. Beberapa hari yang lalu, iya juga pulang dengan keadaan paha yang bocor. Namun lagi-lagi dari Kartono saya belajar, bahwa kucing bisa menyembuhkan lukanya sendiri dengan menjilatinya dengan liur dan itu tidak membutuhkan waktu satu minggu. Namun hari itu berbeda. Kali ini kutatap Kartono yang setengah mati ingin menjilati lehernya yang berlubang namun lidahnya tidak sampai. Apa boleh buat, saya kemudian berinisiatif untuk menuangkan minyak gosok ke lehernya dan berharap itu bisa sedikit membantu. Namun na’as, tiga hari kemudian Tono menghilang dan hari keempat bangkai kucing berbulu cokelat ditemukan tiga rumah dari rumah saya. Di akhir hidupnya, Kartono mengajarkan saya bahwa kucing yang mencintai pemiliknya tidak akan meninggal di rumahnya sendiri. Melainkan ia akan pergi jauh agar tidak membuat pemiliknya sedih dan merasa kehilangan meskipun kita semua tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil dilakukan.
            Pulanglah dengan lugu.
            Masih ada pintu untukmu,
            Bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam
            Saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku
            (Joko Pinurbo, 2013. Surat Pulang)   
                Sepenggal puisi tadi  bisa jadi merupakan salah satu jalan pulang yang baik untuk kembali mengingat kenangan dan apa yang pernah tertinggal di kampung halaman.


Tentang Kepergian dan Hal-Hal Lain Setelahnya.


            Selamat memasuki bulan kemarau!
            Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim kemarau. Sengkang termasuk baik hati, karena tidak pernah tega membiarkan aku sendiri. Dari kota kecil ini (maksudku kota yang bahkan tidak akan pernah kau dapatkan namanya dalam peta) aku bahkan tidak pernah merasa benar-benar kering seperti apa yang harusnya orang-orang rasakan. Kepalaku benar-benar selalu basah. Hingga orang-orang di dalamnya, termasuk kamu yang baru saja pergi barangkali sudah bisa berenang di sana.
            Berbicara tentang kepergian, sebenarnya jujur saja aku sudah bosan menuliskan ini. Kalian tentu saja juga merasakan hal yang sama sepertiku. Jikalau aku mampu, suatu saat blog ini sepertinya akan berwarna abu-abu atau bahkan hitam. Dengan hujan di setiap katanya, dengan sedikit mendung di beberapa hurufnya. Saking sendunya setiap kisah yang dialami oleh seorang perempuan sepertiku.
            Ketika berada dalam sebuah pelatihan menulis, Agus Noor bertanya mengapa aku harus menulis. Jawabanku sederhana. Karena menurutku dengan menulis aku bisa membahagiakan diri sendiri meskipun kebanyakan yang tertuang adalah tulisan-tulisan sedih yang tidak tahu harus kuapakan selain kutuangkan. Kata Aan Mansyur, seorang penulis harus mampu terus menulis dan mengeluarkan tulisan-tulisan buruknya dalam kepala hingga terlahir sebuah tulisan yang dianggap layak atau bisa dikatakan bagus. Kurang lebihnya seperti itu ia mengatakannya. Mengacu pada hal tersebut, maka aku mencoba untuk menuliskan semua kisah sedih ini agar mereka keluar dengan baik-baik dan tidak menjadi kenangan yang selalu memaksaku untuk kembali ke tempat dimana semua ini mulai salah. Maka untukmu, aku mulai menuliskannya.
            Sudah berapa hari kita tidak saling kenal lagi? Barangkali seminggu. Atau dua minggu? Oh tidak tidak. Maksudku kita tidak saling kenal lagi atau kasarnya, aku yang sudah tidak mau mengenalmu lagi semenjak malam dimana semua kata-kata kasar berloncatan dari dalam kepalaku. Memaksa ibu jariku untuk mengetikkan pesan yang panjang-panjang buatmu. Pesan yang sejujurnya - seberapa panjang pun ia kutuliskan - tidak akan pernah mampu untuk menjelaskan semua duduk perkara kita hingga bisa menjadi seperti sekarang ini. Seperti orang asing untuk satu sama lain.
            Kalau kau mau berkata bahwa aku adalah seorang pendendam, maka silakan saja kau boleh melakukannya. Aku tidak pernah punya masalah dengan itu. Masalahku saat ini adalah karena kita harus selesai dengan akhir yang oleh kita bersama, sepakat dianggap sebagai akhir yang baik-baik saja. Sama seperti do’amu yang menyuruhku seperti itu. Do’amu baik, baik sekali. Tapi kenapa rasanya seperti irisan belati di tangan kiri?
            Oh ya aku lupa. Mungkin seperti itulah rasa terakhir dari setiap hubungan yang kandas karena tidak mampu lagi diperjuangkan. Pada akhirnya kami berakhir dengan alasan yang sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Tapi sudahlah, setiap orang memang punya caranya sendiri-sendiri untuk lebih menyakiti dan kemudian beranjak pergi. Meski tak lagi rapi, hidupku pasti beranjak pulih kembali, setidaknya seperti itulah yang selalu kuyakini untuk menegarkan diri sendiri. Meskipun kita semua tahu, ketika seseorang ditinggal pergi akan datang sesuatu yang kita sebut sepi. Seperti itulah sedikit cerita ketika berusaha berdiri tanpa mengenalmu lagi.

            Setelah berbicara tentang cinta dan kepatahatian yang menyakitkan dan sedikit berlebihan itu, mari kita bicara tentang kepulangan di kampung halaman pada tulisan berikutnya. Terima kasih sudah membaca dan berhati-hatilah pada sesuatu yang dinamakan cinta.

Perihal Menjadi Pacar Dan Sesuatu yang Mulai Hambar


            Selamat pagi, Mei.
Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana.
            Termasuk yang satu ini.
            Ada banyak hal yang menarik untuk kutulis pagi ini setelah menghabiskan malam dan bertengkar hebat dengan seseorang dari masa lalu yang kembali datang dengan embel-embel masa depan. Sesuatu yang tidak jelas dan berbentuk abstrak atau sedikit abu-abu coba dia berikan titik terang yang sayangnya tidak mau kuterima. Lingkungan sosial memang turut menjadi penggagas paling baik untuk seseorang sepertiku kembali berpikir ulang untuk apa yang selama ini sudah kami perbuat.
Mencintaimu dan mencintaiku adalah sepasang kata yang dengannya, seseorang gemar sekali mengikat suatu hubungan. Ada yang serta merta saat itu juga, ada yang menunggu waktu atau dengan sedikit bumbu-bumbu klasik, mencari tanggal bagus. Aku tidak tahu, kalian mau setuju dengan apa yang kutulis atau tidak. Sejujurnya aku tidak peduli. Aku sudah muak membukakan terlalu lebar telinga untuk omong kosong di luar sana. Namun kemarin, selingan bisik-bisik dari sahabatku kembali membongkar semuanya. Tiba-tiba saja, aku berpikir dengan sangat buntu. Iya juga, selama ini kami bersama namun belum menjadi apa-apa hanya karena dia mencari tanggal yang menurutnya cantik. Sedikit menjijikkan, mengingat kami bukan lagi anak abg tahun kemarin yang harus selalu merayakan hari jadi hubungan tiap hari, bulan, dan tahun. Kami kepala dua dan dituntut oleh diri sendiri untuk memikirkan hal-hal ke depan.
Aku ingat sewaktu kecil senang sekali bermain layangan. Layangannya melayang di udara. Aku menarik-narik talinya di atas tanah. Namun tiba-tiba benangnya putus, barangkali karena terlalu tipis atau karena sudah bosan menunggu sesuatu yang melayang tak jelas arah kapan turunnya atau karena aku yang lupa mengikatnya terlebih dahulu. Aku tidak tahu. Maksudku waktu seumuran itu, aku tidak tahu alasannya putus karena apa. Baru setelah menginjak umur dua puluh, aku mulai kembali mengingat itu setelah sesuatu terjadi padaku. Menjalani sesuatu yang tidak tahu harus disebut apa adalah hal yang paling membosankan menurutku. Awalnya memang menarik. Ketahuilah, aku juga sosok perempuan yang senang bertemu dan melalukan sesuatu yang baru. Termasuk itu. Namun kupikir semakin ke sini semakin aku tidak mengerti arah sesuatu itu akan dibawa kemana. Kuakui, baiklah. Dalam  tulisan ini, terkhusus hanya di sini; aku memang sebuah produk dari Tuhan yang gemar sekali bosan dan melompat-lompat ke satu orang menuju orang yang lain ketika aku tidak menemukan alasan nyata mengapa harus tinggal. Atau karena tidak ada lagi yang mengharuskan aku tinggal. Atau karena pegangan seseorang mulai melonggar dan memberikanku sedikit celah dimana aku bisa bebas.

Aku tidak pernah memaksakan seseorang untuk terlalu cepat menyatakan kata-kata mutiara, khas kata-kata orang yang mau memiliki. Tidak. Semua orang punya caranya sendiri-sendiri. Aku mengerti. Tapi satu hal yang harus diwaspadai ketika menemukan orang yang mirip aku, kuncinya hanya satu. Jangan terlalu lama, sayangku. Sebab kau akan merasa jadi orang yang dipecundangi ketika seseorang yang kau pikir tabah dan baik-baik saja, pergi dengan alasan bosan karena tidak pernah diberi alasan untuk tetap tinggal; selain kalimat standar “Karena kita saling sayang”.

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman